BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Secara
historis NU memiliki kontribusi yang sangat besar dalam perjalanan sejarah
bangsa Indonesia. Jika dirunut maka akan didapati bagaimana peran NU dalam
kehidupan bernegara bangsa tersebut, meskipun secara akademis sering menjadikan
NU dianggap sebagai organisasi yang akomodatif, fragmatis dan bahkan oportunis.
Labeling
seperti ini memang disandarkan atas realitas bahwa NU sebagai organisasi pernah
melakukan tindakan politik untuk membela Soekarno dalam menggoalkan konsep
Nasionalisme, Agama dan Komunis (Nasakom), yang saat itu dianggap sebagai
sebuah konsepsi yang salah oleh organisasi sosial keagamaan lainnya, sebab
menempatkan agama dan komunis dalam satu bangunan konsep. Selain itu NU juga
pernah mengangkat Soekarno sebagai Waliy al-amri dharury bi al-syaukah,
yang dianggap oleh lainnya sebagai langkah oportunisme politik.
Terlepas
dari berbagai macam simbol yang diatribusikan kepada NU tetapi yang jelas bahwa
NU telah mewarnai sejarah pergerakan bangsa Indonesia semenjak awal kemerdekaan
Indonesia hingga dekade akhir-akhir ini. Dan salah satu aspek penting dalam
kontribusi NU tersebut adalah bagaimana NU dengan konsepsi tentang Pancasila,
UUD 1945 dan NKRI sebagai sesuatu yang final bagi bangsa Indonesia. Dan yang lebih
penting adalah NU dengan konsepsinya tentang Pancasila telah mengarahkan
pergerakannya untuk menjadi civil religion atau masyarakat madani.
B.
Rumusan
Masalah
Dari latar belakang diatas, maka dapat dirumuskan
sebagai berikut :
1.
Bagaimana Peran Nu Pada Masa Penjajahan?
2.
Bagaimana Peran Nu Pada Masa Kemerdekaan?
3.
Bagaimana Peran Nu Pada Masa Orde Lama?
4.
Bagaimana Peran Nu Pada Masa Orde Baru?
C.
Batasan
Pembahasan
Dari rumusan masalah diatas, maka dapat di batasi
dari pembahasan sebagai berikut :
1.
Menjelaskan Peran Nu Pada Masa Penjajahan
2.
Menjelaskan Peran Nu Pada Masa Kemerdekaan
3.
Menjelaskan Peran Nu Pada Masa Orde Lama
4.
Menjelaskan Peran Nu Pada Masa Orde Baru
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1.
Peran Nu Pada Masa Penjajahan
Pesantren sebagai front perlawanan terhadap penjajah merupakan kenyataan
sejarah yang terjadi disetiap tempat dan sembarang zaman. Perlawanan digerakkan
dari pesantren dan karenanya pesantren menjadi basis perlindungan kaum pejuang
kemerdekaan. Demikian halnya yang terjadi di pesantren Demangan Bangkalan yang
dipimpin Kiai Cholil yang sangat kharismatik. Suatu ketika, ada beberapa
pejuang dari Jawa yang bersembunyi dikompleks Pesantren Demangan yang jauh dari
keramaian kota itu.
Lama-kelamaan tentara penjajah mencium gelagat itu, maka tidak ada pilihan
lain kecuali harus mengerahkan tentara yang cukup besar untuk
mengobrak-abrik kompleks pesantren. Mereka begitu yakin para pejuang
bersembunyi di pesantren, tetapi mereka terkejut dan marah ketika dalam
setiap penggerebekan tak menemukan apa-apa. Tidak seorang pun yang dicurigai
sebagai pejuang kemerdekaan ditemukan, di antara sekian santri yanag sedang
mengaji. Karena jengkel, akhirnya mereka menahan Kiai Cholil sebagai sandera.
Mereka Berharap, dengan menyandera Kiai Cholil yang sudah sepuh itu, para
pejuang mau menyerahkan diri.
Ketika Kiai Cholil dimasukkan ke dalam tahanan, Belanda direpotkan
oleh berbagai kejadian yang aneh-aneh. Mula-mula, semua pintu tahanan tak
bisa ditutup, hal itu membuat semua aparat penjajah harus berjaga siang dan
malam, agar tahanan yang lain melarikan diri. Sementara itu para pejuang
ditunggu-tunggu tidak kunjung menyerahkan diri, walaupun pimpinan mereka
ditangkap.
Melihat kiainya ditahan, maka setiap hari
ribuan orang dari berbagai penjuru Pulau Madura, bahkan juga dari Jawa
berdatangan untuk menjenguk dan mengirim makanan kepada Kiai Cholil yang sangat
mereka hormati. Tentu saja hal itu juga memusingkan pihak penjajah, karena penjara menjadi
ramai seperti pasar. Akhirnya mereka mengeluarkan larangan mengunjungi Kiai
Cholil. Tapi ini juga tidak menyelesaikan masalah. Masyarakat yang
berbondong-bondong itu berkerumun, berjejal di sekitar rumah tahanan, bahkan
ada yang minta ikut ditahan bersama Kiai Cholil. Melihat kenyataan itu akhirnya
Belanda membuat pertimbangan. Dari pada dipusingkan dengan hal-hal yang tak
bisa diatasi, maka akhirnya pihak penjajah membebaskan Kiai Cholil tanpa
syarat.
Penghormatan masyaraakat Jawa dan Madura
pada kiai yang satu ini sangat besar, selain menjadi guru hampir dari
keseluruhan kiai Jawa, sejak Kiai Hasyim Asy’ari, Wahab Hasbullah, Kiai As’ad
dan sebagainya, Kiai itu juga dipercaya sebagai waliyullah yangs angat
makrifat. Sang Kiai memang
orang yang alim dalam ilmu nahwu, fiqh dan tarekat. Ia tidak hanay menghafal
Al-qur’an, tetapidan menguasai segala ilmu Al-qur’an, termasuk qira’ah sab’ah
(tujuh macam seni baca Al-qur’an).
Sebagai seorang wali maka ia dimintai
restu oleh berbagai kalangan, termasuk salah satu ulama yang melegitimasi
lahirnya NU adalah Kiai Cholil, sebab sebelum mendapat isyarah dari Kiai
Cholil, Kiai Hasyim Asy’ari masih menunda gagasan yang dilontarkan oleh Kiai
Wahab Hasbullah untuk mendirikan jam’iyah ulama itu. Baru setelah mendapat
restu Kiai Cholil, melalui Kiai As’ad Syamsul Arifin, Kiai Hasyim Asyari segera
mendeklarasikan NU, sebagai organisasi sosial, yang segera disambut oleh
seluruh ulana Jawa, Maduran bahkan luar Jawa dan dari luar naegeri. (Mun’im Dz dari berbagai
sumber)
2.2.
Peran Nu Pada Masa Kemerdekaan
Nadhlatul Ulama (NU) yang berdiri 31 Januari 1926 berdasarkan semangat
kebangkitan nasional, memegang peranan penting dalam kemerdekaan Republik
Indonesia (RI). Warga NU baik dari kalangan Kiai maupun santrinya tercatat
pernah ikut memperjuangkan kemerdekaan negara tercinta ini.Perjuangan mereka
dilakukan sesaat setelah peringatan kemerdekaan RI, 17 Agustus 1945, karena
sebulan setelah Indonesia merdeka (pertengahan September 1945) Inggris kembali
datang ke Indonesia untuk menjajah kembali. Berangkat dari peristiwa tersebut,
warga NU tergerak hatinya ikut dalam gerakan melawan para penjajah, terutama
saat Inggris ingin mengusai Jawa Timur setelah sebelumnya menguasai berbagai
daerah di Indonesia. Pada bulan Oktober pasukan Inggris yang tergabung dalam NICA
(Netherland Indies Civil Administration) telah menguasai Medan, Padang,
Palembang, Bandung dan semarang,sedangkan kota-kota besar di Indonesia Timur
diduduki oleh Australia.Pembesar NU dan anggotanya melakukan perlawanan kepada
pasukan Inggris.
Saat itu, pasukan Inggris berjumlah sekitar 6.000 orang yang terdiri dari
jajahan India. NU juga mendeklarasikan perang suci, berjihad melawan penjajah
bersama masyarakat lainnya. ''Ribuan kiai dan santri NU di seluruh Jawa dan
Madura berkumpul di Surabaya pada tanggal 21-22 Oktober 1945, dipimpin oleh
Rois Akbar NU Hadratussyekh KH Hasyim Asy'ari. Mereka mendeklarasikan resolusi
dengan sebutan 'resolusi jihad' yang isinya antara lain mempertahankan
Kemerdekaan RI, 17 Agustus 1945,'' tulis MC Ricklefs (1991).Menurut Rickleft,
resolusi jihad itu merupakan fatwa tentang kewajiban perang melawan para kaum
imprealis. Berdasarkan fatwa tersebut, seluruh masyarakat Islam membentuk
laskar perang. Para sejarahwan mengakui bahwa pengaruh resolusi jihad.
2.3.
Peran Nu Pada Masa Orde Lama
NU dalam setiap penyelenggaraan pemilu menjadi gadis molek yang
diperebutkan semua kekuataan politik sejak Orde Lama sampai dengan paska Orde
baru. NU mulai berpolitik sejak bergabung dengan entitas organisasi masyarakat
keislaman lain membentuk Masyumi, pada zaman demokrasi liberal paska
kemerdekaan. Akibat konflik internal dan merasa tidak diakomodir oleh faksi
Islam modernis dalam Masyumi, NU kemudian mendirikan partai politik tersendiri
dan ikut pemilu legislatif dan konstituante pada 1955 dengan menjadikan sebagai
kekuataan terbesar ketiga setelah PNI dan Masyumi. Pada zaman orde lama paska
kembalinya ke UUD 45 dan pembekuan partai PSI dan Masyumi, presiden Soekarno
membentuk Nasakom dengan pilar Nasionalis (PNI), Agama (NU), dan Komunis (PKI).Soeharto
memaksa NU berfusii dengan faksi Islam lain dengan membentuk PPP paska
pemilihan umum 1971 di mana NU meraih suara terbesar kedua setelah Golkar.
Pembentukan PPP ini mengulang kejadian pembentukan Masyumi di mana peran NU
termarjinalkan oleh faksi Islam modern. Puncaknya pada Muktamar NU Situbondo
pada 1984 dengan dimotori Gus Dur mencoba “menetralkan” NU dari politik praktis
dengan kembali ke khitah 1926.
Selama 14 tahun Gus Dur mencoba menjaga jarak dengan kekuasaan dan bermain
politik bebas aktif dengan bermain di dua kaki, ikut gerakan pro demokrasi
dengan salah satunya mendirikan Fordem tapi di sisi lain berdampingan dengan
lingkar kekuasaan. Masih ingat pernyataan Gus Dur tentang Mbak Tutut sebagai
calon pemimpin masa depan Indonesia dan menemani safari politik Tutut ke
kantong-kantong NU.
Aktivitas Gus Dur membuat gerah Soeharto sehingga pada Muktamar di Cipasung
Tasik Malaya 1994, mencoba didongkel dengan pencalonan Abu Hasan namun ternyata
gagal. Tumbangnya Soeharto, menjadi masa bulan Madu NU dengan politik,
1999-2004, dengan kendaraan PKB, NU mampu mengoptimalkan basis masa sarungan
dengan mendapatkan suara 10 persen. Sejak 2004, polarisasi politik baik di NU
dan PKB makin mengental, faksi Ketua Umum Hasyim Muzadi yang mencalonkan diri
wapres dengan masuk ke kubu Mega, sebaliknya Faksi Gus Dur yang mencalonkan Gus
Soleh bersama Wiranto. Paska pemilu 2004, faksi Gus Dur pecah dengan
terbentuknya kepemimpinan ganda antara faksi Gus Dur dengan Faksi Muhaimin yang
akhirnya dimenangkan Muhaimin. Perpecahan PKB ini menggerus suara PKB yang
turun drastis hanya mendapat setengah dari perolehan 1999 dan 2004.
Diawali dengan Pilkada Jatim 2008, dengan dimenangkannnya Sukarwo-Gus Ipul,
menjadi pertarungan pemanasan menuju Pilpres 2009. Pilkada Jatim menunjukkan
“pemenangnya” adalah NU, karena 4 kandidat memiliki perwakilan NU. Setahun
kemudian pertarungan tiga faksi terbesar di NU, yaitu faksi Gus Dur yang akan
cenderung Golput atau cenderung masuk ke Faksi Mega-Prabowo, kemudian Kiai NU
struktrural di KH Hasyim Muzadi yang lima tahun lampau bertautan dengan Mega
akan beralih peran dengan masuk ke kandang JK Wiranto terkait, kemudian faksi
adalah pendukung SBY-Budiono dengan motor Muhaimin Iskandar, Gus Ipul dengan GP
Anshornya didukung oleh kiai-kiai yang berada di belakang Muhaimin saat konflik
PKB.
Jawa Timur sebagai kandang NU terbesar di
Indonesia akan menjadi pertarungan 3 koalisi Capres dan Wapres, JK sudah tidak
bisa berharap dengan daerah Mataraman yang akan menjadi basis Politik SBY-Budi
dan Mega Prabowo, sekarang medan tempur sesungguhnya akan terjadi di daerah
tapal kuda dan madura yang menjadi ceruk perebutan ketiganya. Pertarungan
sesungguhnya akan terjadi antara Kubu JK Win yang “didukung” oleh Hasyim Muzadi
dan Kubu SBY Budiono yang didukung oleh Gus Ipul, Muhaimin dan kiai-kiai desa
pendukungnya. 40 juta massa NU yang tersebar di seluruh Indonesia menjadi lahan
pertarungan ketiga kubu. NU dengan struktur organisasi yang cair dan berbentuk
federasi ulama-ulama dibandingkan ikatan organisasi yang dikuasai satu patron
pemimpin. Setiap faksi tidak mampu mengikat massa NU secara keseluruhan. NU
sejak 1950an masih tetap sama, menjadi arena pertarungan politik untuk meraih
massa sarungan.
Di era tahun 1990-an semakin banyak anak-anak muda NU yang belajar di Timur
Tengah. Pasca pendidikan di pesantren-pesantren, mereka melanjutkan
pendidikannya di negara asal agama Islam. Berkat hubungan baik antara pesantren
dan lembaga pendidikan di Timur Tengah, selain semakin meningkatnya
kesejahteraan dan kesadaran pendidikan formal di kalangan orang NU, maka banyak
anak muda NU yang dikirim belajar ke sana.
Dalam dekade akhir, sudah banyak di antara mereka yang menempati posisi
strategis di dalam tubuh NU di hampir seluruh Indonesia. Sebagai alumni
Pendidikan Timur Tengah, terutama Arab Saudi, maka corak pemikiran keagamaannya
cenderung ke arah Islam formal, artinya Islam harus menjadi simbol dalam segala
hal, tak terkecuali simbol negara. Makanya, banyak di antara mereka yang
cenderung berpikir bahwa NKRI dengan Pancasila dan UUD 1945 bisa saja berubah
asalkan sesuai dengan tataran realitas politik masyarakat.
Ajaran Islam sudah memberikan pedoman dalam segala hal. Islam mengandung
ajaran syumuliyah (komprehensif) dan universal. Hubungan antara politik dan
negara lebih cenderung integrated. Mereka kurang sepakat dengan adagium minyak
onta cap babi, apalagi minyak babi cap onta. Sebab seharusnya adalah minyak
onta cap onta. Antara substansi dan simbol harus sama. Di dalam studinya, Ali
Maskan (2007) menyatakan bahwa elite NU juga ada yang dikategorikan sebagai
Elite NU Fundamentalis, selain yang Moderat dan Fragmatis. Mereka yang
beranggapan bahwa Islam mengandung ajaran yang syumuliyah, Pan Islamisme,
Universalisme dan formalisasi syariat ditipologikan sebagai Elite NU
Fundamentalis.
Mereka juga sangat antusias dalam mengapresiasi berbagai macam konsepsi
yang dikembangkan oleh MUI terkait dengan pelarangan terhadap aliran sesat,
liberalisme dan pluralisme. Kelompok ini dianggapnya akan dapat menggerogoti
terhadap keaslian Islam. Islam yang suci murni harus dijauhkan dari doktrin
yang bertentangan dengannya. Islam harus tetap genuine sebagaimana sumber
aslinya.
NU memang dikenal sebagai organisasi keagamaan yang mengusung moderatisme
yang rahmatan lil alamin. KH Hasyim Muzadi di dalam berbagai forum
mendengungkan tentang Islam dalam coraknya seperti ini. Dan NU memang
diapresiasi oleh banyak kalangan juga berkat konsep tawazunisme, i’tidalisme,
dan tawasutisme, namun dinamis dan kontekstual. Islam tidak hanya ramah
terhadap sesama umat Islam tetapi juga terhadap lainnya, bahkan terhadap
seluruh lingkungan. Islam sebagai mayoritas dapat menjadi pelindung bagi kaum minoritas.
Makanya harus terdapat formulasi yang tepat untuk semuanya itu. Di dalam sistem
kenegaraan, maka pilihannya adalah NKRI dengan asas Pancasila dan UUD 1945.
2.4.
Peran Nu Pada Masa Orde Baru
Setelah Kabinet Ampera terbentuk (25 Juli 1966). Menyusul tekad membangun
dicanangkan UU Penanaman Modal Asing (10 Januari 1967), kemudian Penyerahan
Kekuasaan Pemerintah RI dari Soekarno kepada Mandataris MPRS (12 Februari
1967), lalu disusul pelantikan Soeharto (12 Maret 1967) sebagai Pejabat
Presiden sungguh merupakan kebahagiaan tersendiri bagi Gerakan Pemuda Ansor. Luapan kegembiraan itu tercermin dalam Kongres VII GP Ansor di Jakarta.
Ribuan utusan yang hadir seolah tak kuat membendung kegembiraan atas runtuhnya
pemerintahan Orde Lama, dibubarkannya PKI dan diharamkanya komunisme, Marxisme
dan Leninisme di bumi Indonesia.
Bukan
berarti tak ada kekecewaan, justru dalam kongres VII itulah, rasa tak puas dan
kecewa terhadap perkembangan politik pasca Orla ramai diungkapkan. Seperti
diungkapkan Ketua Umum GP Ansor Jahja Ubaid SH, bahwa setelah mulai rampungnya
perjuangan Orde Baru, diantara partner sesama Orba telah mulai melancarkan
siasat untuk mengecilkan peranan GP Ansor dalam penumpasan G-30 S/PKI dan
penumbangan rezim Orde Lama. Bahwa suasana Kongres VII, dengan demikian,
diliputi dengan rasa kegembiraan dan kekecewaan yang cukup mendalam.
Kongres VII GP Ansor berlangsung di Jakarta, 23-28 Oktober 1967. hadir
dalam kongres tersebut sejumlah utusan dari 26 wilayah (Propinsi) dan 252
Cabang (Kabupaten) se-Indonesia. Hadir pula menyampaikan amanat; Ketua MPRS
Jenderal A.H.Nasution; Pejabat Presiden Jenderal Soeharto; KH. Dr Idham Chalid
(Ketua PBNU); H.M.Subchan ZE (Wakil Ketua MPRS); H. Imron Rosyadi, SH (mantan
Ketua Umum PP.GP Ansor) dan KH.Moh. Dachlan (Ketua Dewan Partai NU dan Menteri
Agama RI).
Kongres kali ini merupakan moment paling tepat untuk menjawab segala
persoalan yang timbul di kalangan Ansor. Karena itu, pembahasan dalam kongres
akhirnya dikelompokan menjadi tiga tema pokok: (1) penyempurnaan organisasi;
(2) program perjuangan gerakan; dan (3) penegasan politik gerakan.
Dalam kongres ini juga merumuskan Penegasan Politik Gerakan sbb: (1)
Menengaskan Orde Baru dengan beberapa persyaratan: (a). membasmi komunisme,
marxisme, dan leninisme. (b) menolak kembalinya kekuasaan totaliter/Orde Lama,
segala bentuk dalam manifestasinya. (c) mempertahankan kehidupan demokrasi yang
murni dan (d) mempertahankan eksistensi Partijwezen; (2) Toleransi Agama
dijamin oleh UUD 1945. Dalam pelaksanaannya harus memperhatikan kondisi daerah
serta perasaan penganut-penganut agama lain; (3) Mempertahankan politik luar
negeri yang bebas aktif, anti penjajahan dan penindasaan dalam menuju
perdamaian dunia.
Rumusan penegasan politik tersebut tentu dilatarbelakangi kajian mendalam
mengenai situasi politik yang berkembang saat itu. Kajian atau analisis itu,
juga mengantisipasi perkembangan berikutnya. Memang begitulah yang dilakukan
kongres. Perkara politik itu pula-lah yang paling menonjol dalam kongres VII
tersebut. Itulah sebabnya, dalam kongres itu diputuskan: Bahwa GP Ansor memutuskan
untuk ikut di dalamnya dalam penumpasan sisa-sisa PKI yang bermotif ideologis
dan strategis. Kepada yang bermotif Politis. Ansor menghadapinya secara kritis
dan korektif. Sedangkan yang bermotif terror, GP.Ansor harus menentang dan
berusaha menunjukkan kepalsuannya. Atas dasar itulah, GP Ansor
mendukung dan ikut di dalamnya dalam operasi penumpasan sisa-sisa PKI di Blitar
dan Malang yang dikenal dengan operasi Trisula. Bahkan GP Ansor waktu itu sempat
mengirim telegram ucapan selamat kepada Pangdam VIII/Brawijaya atas suksenya
operasi tersebut. Ansor ikut operasi itu karena, operasi di kedua daerah
tersebut bermotif ideologis dan strategis.
Sesungguhnya kongres juga telah memperediksi sesuatu bentuk kekuasaan yang
bakal timbul. Karena itu, sejak awal Ansor telah menegaskan sikapnya: menolak
kembalinya pemerintahan tiran. Orde Baru ditafsirkan sebagai Orde Demokrasi
yang bukan hanya memberi kebebasan menyatakan pendapat melalui media pers atau
mimbar-mimbar ilmiah. Tapi, demokrasi diartikan sebagai suatu Doktrin
Pemerintahan yang tidak mentolerir pengendapan kekuasaan totaliter di suatu
tempat. Seperti kata Michael Edwards dalam buku Asian in the Balance,
bahwa kecenderungan di Asia, akan masuk liang kubur dan muncul
authoritarianism. Pendeknya, demokrasi pada
mulanya di salah gunakan oleh pemegang kekuasaan yang korup hingga mendorong
Negara ke arah Kebangkrutan. Lalu, sebelum meledak bentrokan-bentrokan sosial,
kaum militer mengambil alih kekuasaan, dan dengan kekuasaan darurat itulah
ditegakkan pemerintahan otoriter. Begitulah kira-kira Michael Edwards.
BAB III
PENUTUP
3.1. KESIMPULAN
Dari pembahasan diatas maka penulis dapat menyimpulkan bahwa Pesantren sebagai front perlawanan terhadap penjajah
merupakan kenyataan sejarah yang terjadi disetiap tempat dan sembarang zaman.
Perlawanan digerakkan dari pesantren dan karenanya pesantren menjadi basis
perlindungan kaum pejuang kemerdekaan. Nadhlatul Ulama (NU) yang berdiri 31 Januari 1926
berdasarkan semangat kebangkitan nasional, memegang peranan penting dalam
kemerdekaan Republik Indonesia (RI).
Warga NU baik dari kalangan Kiai maupun santrinya tercatat pernah ikut
memperjuangkan kemerdekaan negara tercinta ini. NU dalam setiap penyelenggaraan pemilu menjadi gadis molek yang diperebutkan semua
kekuataan politik sejak Orde Lama sampai dengan paska Orde baru. NU mulai
berpolitik sejak bergabung dengan entitas organisasi masyarakat keislaman lain
membentuk Masyumi, pada zaman demokrasi liberal paska kemerdekaan Luapan kegembiraan itu tercermin dalam Kongres VII GP Ansor di Jakarta.
Ribuan utusan yang hadir seolah tak kuat membendung kegembiraan atas runtuhnya
pemerintahan Orde Lama, dibubarkannya PKI dan diharamkanya komunisme, Marxisme
dan Leninisme di bumi Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Aceng Abdul Aziz Dy, Islam
Ahlussunnah Wal Jama’ah di Indonesia, Pustaka Ma’arif NU : Jakarta : 2006.
Tim PWNU Jawa Timur, Aswaja
An-Nahdliyah, Khalista : Surabaya 2006.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar